Sabtu, 03 April 2010

Lirik Lagu Falling Down


Male:
My friend just called me up to join his party
I found myself dressing up fine, just like the king

My lady stepped beside me. Sexy, damn! She burned the place
She whispered "I will never loose this night , ever"
Tequila's blasting out my mind. Everything's about going wild.
When I looked at you, my lady! You! My friend took you! I got drunk
Then nothing I can do.

Falling down
Fall fall falling down. Tease my head out loud
Falling down
Fall falling down. Keep my face against the wall
Falling down
Fall fall falling down. Push the light against the clouds.
The night's going dark, totally dark. I'm all outta stars

Female:
Waiting for your lovely kiss that night
No one knew, I was lost in the park
And then I found someone to make me laugh
His eyes so bright, blew me away
He cares more than you

When I returned, I could not leave his burning heart alone
I though you knew what it was that I had to do
Deep in my heart, he's got a million ways to go
And sure, I like.. The great new house, the brand new cars
Your friend is mine. And so what? nothing I can do
****

Male:
Those who punish me are guilty babe
It's so great! Being a lady
Should I send you your make up bag?
Just to make you comfortable

Female:
I'm a normal girl, I am not the same
But I love his air con room
There's nothing wrong with me...again, nothing I can do
I've got someone new, I keep walking thru

Male:
I wanna know how far is hell from you?

Female:
Hey!, I am not the winner of this race!
You have to be warmer than him actually. Could you say "good luck" for my new destination ?.
You said you would be proud if I've done what's right for me.
...oh no no no no no....bullshit!

Jumat, 02 April 2010

TBY

Sejarah Taman Budaya tak terlepas dari kebijakan tak terlepas dari kebijakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam kurun 1970an.
Direktur Jenderal Kebudayaan kala itu, Prof. DR Ida Bagus Mantra, menyaksikan bahwa di banyak negara lain pusat pusat kebudayaan dan keseian begitu hidup dan berkembang marak. Pusat-pusat semacam itu didukung prasarana dan sarana yang bagus seperti gedung pertunjukkan, galeri seni rupa, teater terbuka, dan ruangan lokakarya yang sangat terpadu. Kenyataan ini mengilhami pemikiran beliau tentang pentingnya pusat kebuadayaan dan kesenian didirikan di setiap povinsi d Indonesia. Sekurangnya pusat-pusat kebudayaan itu dapat menjadi etalase bagi kekayaan ragam seni budaya daerah di negeri yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini.
Pada tahun 1978, dengan masukan dari kalangan seniman dan cendekiawan, berdasarkan surat keputusan Mentreri Pendidikan dan Kebudayaan berdirilah pusat-pusat kebudayaan yang disebut Taman Budaya di beberapa propinsi di Indonesia, termasuk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika itu secara kelembagaan Taman Budaya adalah Unit Pelaksana Teknis bidang kebudayaan yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Kebudayaan yang berkedudukan di Jakarta. Tugas Taman Budaya ialah melaksanakan pengembangan kebudayaan daerah di provinsi.
Tiga belas tahun kemudian, pada 1991, organisasi dan tata kerja Taman Budaya mengalami perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0221/O/1991. Lalu pada perkembangan selanjutnya Taman Budaya d seluruh Indonesia ditempatkan dalam struktur Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang otonomi daerah.
Maka melalui masa transisi tahun 200-2001 Taman Budaya Yogyakarta masuk dalam struktur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2002 da Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 181/Tahun 2002 tanggal 4 November 2002 Taman Budaya Yogyakarta resmi menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY.
Kini fungsi yang diemban Taman Budaya Yogyakarta ialah pelkaksanaan operasional sebagai kewenangan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dalam hal pengembangan dan pengolahann pusat dokumentasi, etalase, dan informasi seni budaya dan pariwisata.


VISI DAN MISI
Visi : Terwujudnya Taman Budaya Yogyakarta sebagai " the Window of Yogyakarta " menuju pusat budaya terkemuka di tingkat nasional dan internasional.
Misi : Memberikan ruang kreatif bagi seniman dan budayawan untuk mempresentasikan karya kreatif dan pemikiran mereka. Menjadi suatu pusat laboratorium pengembangan dan pengolahan seni, dokumentasi dan informasi seni budaya. Meningkatkan kompetensi dan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi seni budaya


FUNGSI DAN TUGAS POKOK
Fungsi Taman Budaya Yogyakarta selaku Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ialah pelaksaan operasional sebagian kewenangan Dinas dalam bidang pengembangan/ pengolahan, pusat dokumentasi, etalase dan informasi seni budaya.

Tugas Pokok Taman Budaya Yogyakarta sebagai pelaksanaan fungsi tersebut ialah :
• Melaksanakan pengembangan/ pengolahan seni budaya
• Melaksanakan laboratorium dan eksperimentasi seni budaya
• Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Dinas
• dan memfasilitasi kegiatan seni budaya.




































TUGAS
SENI BUDAYA

Sejarah Taman Budaya tak terlepas dari kebijakan tak terlepas dari kebijakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam kurun 1970an.
Direktur Jenderal Kebudayaan kala itu, Prof. DR Ida Bagus Mantra, menyaksikan bahwa di banyak negara lain pusat pusat kebudayaan dan keseian begitu hidup dan berkembang marak. Pusat-pusat semacam itu didukung prasarana dan sarana yang bagus seperti gedung pertunjukkan, galeri seni rupa, teater terbuka, dan ruangan lokakarya yang sangat terpadu. Kenyataan ini mengilhami pemikiran beliau tentang pentingnya pusat kebuadayaan dan kesenian didirikan di setiap povinsi d Indonesia. Sekurangnya pusat-pusat kebudayaan itu dapat menjadi etalase bagi kekayaan ragam seni budaya daerah di negeri yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini.
Pada tahun 1978, dengan masukan dari kalangan seniman dan cendekiawan, berdasarkan surat keputusan Mentreri Pendidikan dan Kebudayaan berdirilah pusat-pusat kebudayaan yang disebut Taman Budaya di beberapa propinsi di Indonesia, termasuk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika itu secara kelembagaan Taman Budaya adalah Unit Pelaksana Teknis bidang kebudayaan yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Kebudayaan yang berkedudukan di Jakarta. Tugas Taman Budaya ialah melaksanakan pengembangan kebudayaan daerah di provinsi.
Tiga belas tahun kemudian, pada 1991, organisasi dan tata kerja Taman Budaya mengalami perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0221/O/1991. Lalu pada perkembangan selanjutnya Taman Budaya d seluruh Indonesia ditempatkan dalam struktur Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang otonomi daerah.
Maka melalui masa transisi tahun 200-2001 Taman Budaya Yogyakarta masuk dalam struktur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2002 da Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 181/Tahun 2002 tanggal 4 November 2002 Taman Budaya Yogyakarta resmi menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY.
Kini fungsi yang diemban Taman Budaya Yogyakarta ialah pelkaksanaan operasional sebagai kewenangan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dalam hal pengembangan dan pengolahann pusat dokumentasi, etalase, dan informasi seni budaya dan pariwisata.


VISI DAN MISI
Visi : Terwujudnya Taman Budaya Yogyakarta sebagai " the Window of Yogyakarta " menuju pusat budaya terkemuka di tingkat nasional dan internasional.
Misi : Memberikan ruang kreatif bagi seniman dan budayawan untuk mempresentasikan karya kreatif dan pemikiran mereka. Menjadi suatu pusat laboratorium pengembangan dan pengolahan seni, dokumentasi dan informasi seni budaya. Meningkatkan kompetensi dan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi seni budaya


FUNGSI DAN TUGAS POKOK
Fungsi Taman Budaya Yogyakarta selaku Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ialah pelaksaan operasional sebagian kewenangan Dinas dalam bidang pengembangan/ pengolahan, pusat dokumentasi, etalase dan informasi seni budaya.

Tugas Pokok Taman Budaya Yogyakarta sebagai pelaksanaan fungsi tersebut ialah :
• Melaksanakan pengembangan/ pengolahan seni budaya
• Melaksanakan laboratorium dan eksperimentasi seni budaya
• Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Dinas
• dan memfasilitasi kegiatan seni budaya.




































TUGAS
SENI BUDAYA

TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA

Taman Budaya Yogyakarta sejarahnya mulai dibangun di kawasan Bulaksumur Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tanggal 11 Maret 1977, sebagai sebuah kompleks Pusat Pengembangan Kebudayaan (PPK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Peresmian pembangunan kompleks seni budaya ini dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia (RI).

Pada mulanya, TBY–Purna Budaya waktu itu–dibuat sebagai sarana dan prasarana untuk membina, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan di DIY dan sekitarnya. Purna Budaya dibangun dengan dua konsep bangunan, yaitu Pundi Wurya dan Langembara. Konsep Pundi Wurya dimaksudkan sebagai pusat kesenian dengan berbagai macam fasilitas seperti panggung kesenian, studio tari, perpustakaan, ruang diskusi, dan administrasi. Sedangkan konsep Langembara dimaksudkan sebagai ruang pameran, ruang workshop, kantin, dan juga penginapan.

Pada tahun 1978, Purna Budaya dikembangkan menjadi unit pelaksana teknis bidang kebudayaan di bawah Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0276/O/1978. Kemudian pada tahun 1991, dilakukan pembaharuan pada organisasi dan tatakerja Purna Budaya berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI No. 0221/O/1991. Selanjutnya, pada tahun 1995, Prof. Dr. Soekanto H. Reksohadiprodjo, M.Com, Rektor UGM (1994—1998), melalui surat No. UGM/422/PL/06/IV kepada Mendikbud RI, meminta gedung Purna Budaya yang berada di kompleks Bulaksumur dijadikan untuk sarana kegiatan kemahasiswaan UGM.

Beberapa tahun kemudian, atas kesepakatan Sri Sultan Hamengku Buwono X, BAPPEDA Provinsi DIY, DPRD Provinsi DIY, Walikota Yogyakarta, dan Dirjen Kebudayaan DIY, gedung seni budaya TBY dibangun lagi di kawasan cagar budaya yang berdampingan dengan Gedung Societet Militair. Akhirnya, berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 tahun 2002 dan Keputusan Gubernur DIY No. 161/2002 tertanggal 4 November 2002, TBY berkembang menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY. Dengan berbagai macam visi dan misi, TBY antara lain memfasilitasi kegiatan seni budaya, melaksanakan pengembangan dan pengolahan seni budaya, menjadikan laboratorium dan tempat eksperimentasi seni budaya, dan melakukan fungsi dokumentasi dan informasi seni budaya, melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga dinas, dan memfasilitasi Kegiatan seni budaya.

TBY kemudian memulai babak baru dan meneguhkan diri sebagai “The Window of Yogyakarta”. Gedung seni budaya ini pun semakin meruncingkan visi dan misi dalam dunia seni rupa, dunia media rekam (pemutaran film sepanjang tahun), dunia seni pertunjukan (festival teater, wayang, ketoprak, dalang, dan tari), program-program pendidikan (bimbingan dan pelatihan seni untuk anak dan remaja), dan juga penerbitan (profil seniman dan budayawan, antologi sastra, dan kritik seni rupa).

Kompleks bangunan TBY terdiri dari dua bangunan, yaitu Concert Hall Taman Budaya dan Gedung Societet Militair. Di dalam Concert Hall terdapat ruang utama yang difungsikan sebagai ruang resmi untuk menyelenggarakan pameran seni rupa, seperti seni lukis, seni grafis, seni patung, seni kriya, dan kerajinan. Di samping itu, Concert Hall Taman Budaya juga sering digunakan untuk ruang diskusi sastra, pembacaan puisi, dan ruang pelatihan seni.

Sedangkan Gedung Societet Militair dikhususkan untuk ruang pertunjukan, seperti musik (tradisional dan modern), teater, ketoprak, wayang, tari, dan lain-lain. Sebagai sebuah tempat pertunjukan seni, Gedung Societet Militair memiliki fasilitas yang bagus dan memadai, di antaranya ruang pertunjukan berkapasitas sekitar 500 penonton, panggung pertunjukan, peralatan tata cahaya, dan ruang outdoor untuk publikasi.

Selain itu, TBY juga menghidupkan banyak kegiatan. Hal ini terlihat dari banyaknya jadwal kegiatan yang tersusun rapi untuk dilaksanakan secara profesional. Wisatawan dapat mengunjungi kantor TBY jika ingin mengetahui agenda kegiatan yang terjadwal di papan pengumuman. Kegiatan-kegiatan tersebut banyak yang berkaitan dengan aktivitas pameran seni rupa, pementasan teater, diskusi sastra, pembacaan puisi, dan festival kesenian. Di antara kegiatan yang secara rutin berlangsung di TBY adalah Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yang diadakan setiap bulan Juli—Agustus, meliputi acara performing arts, visual arts, workshop seni, dan lain-lain.

Taman Budaya berlokasi di pusat Kota Yogyakarta, tepatnya di Jl. Sriwedani No. 1 DIY, Indonesia 55122. Lokasi Taman Budaya ini berada di sebelah timur Benteng Vredeburg dan berdampingan dengan Shopping Center dan Taman Pintar. Di sebelah utara taman budaya ini terdapat Pasar Beringharjo dan Kawasan Malioboro

Akses menuju Taman Budaya tidak terlalu sulit karena letaknya persis di jantung Kota Yogyakarta. Di samping itu, Taman Budaya ini juga relatif dekat dari Bandara Adisutjipto (sekitar 8 km), dari Terminal Giwangan (sekitar 6 km), dari Stasiun Lempuyangan (sekitar 3 km), dan dari Stasiun Tugu (sekitar 1 km).

Bagi turis domestik atau mancanegara yang berangkat dari Bandara Adisutjipto dapat menggunakan Bus Trans-Jogja (trayek 3A atau 3B) melewati Jalan Malioboro. Setelah sekitar 25 menit dan membayar ongkos sekitar Rp 3.000 (Oktober 2008), wisatawan dapat turun di Halte Bus Trans-Jogja depan Gedung Agung, kemudian jalan kaki menuju TBY sekitar 300 meter. Sedangkan wisatawan yang berangkat dari Terminal Giwangan dapat menggunakan bus kota jalur 2, jalur 4 atau jalur 15 melewati Jalan Malioboro, kemudian turun di depan Pasar Beringharjo atau Taman Pintar dengan membayar ongkos sekitar Rp 2.000 (Oktober 2008), kemudian jalan kaki menuju TBY sekitar 200 meter.

Bagi wisatawan yang berangkat dari Stasiun Lempuyangan dapat menggunakan taksi menuju TBY dengan membayar ongkos kurang lebih sebesar Rp 20.000 (Oktober 2008). Sedangkan wisatawan yang berangkat dari Stasiun Tugu dapat menggunakan becak atau andong menuju TBY dengan membayar ongkos kurang lebih sebesar Rp 10.000 (Oktober 2008).

TBY buka setiap hari Senin hingga Minggu pada pukul 09.00 sampai pukul 21.00 WIB. Fasilitas pendukung yang terdapat di TBY antara lain perpustakaan, mushola, toilet, kafe, dan halaman parkir yang rindang dan luas.

pameran juga

KELOMPOK ANGKATAN, TAK CUMA MAKAN HATI BUNG!



Dalam sejarah seni rupa Indonesia telah muncul pelbagai kelompok yang lahir karena aksi "mengelompok" diri, seperti persagi, SIM,Pelukis Rakyat, Gabungan Pelukis Indonesia (GPL), Pelukis Indonesia Muda (PIM) atau yang tergabung dalam aksi kelompok seniman pada jalur sosio-politik, seperti lekra,lesbumi, LKN, dll. Sampai pada tahun 60 an dengan munculnya sanggar-sanggar (sanggar Bambu dan Sanggar Bumi Tarung) dan akhirnya sampai pada kelompok Seni Rupa Indonesia yang berbasis pada aksi mendobrak kemapanan seni rupa kala itu dengan melahirkan pameran gerakan Seni Rupa yang penuh polemik.

Apa yang diberikan oleh para mantan mahasiswa ISI Yogyakarta angkatan 2001 yang sedang berpameran di Gallery Seni Taman Budaya Yogyakarta Jln. Sri Wedani 1 Yogyakarta, yang digelar mulai tanggal 22 - 27 Maret 2010 ini mungkin tak bertujuan muluk seperti diatas. Dalam beberapa penelitian, wacana mengenai kelompok ini memang tidak sekedar eksis, tetapi bertujuan untuk merekrut kembali rasa pertemanan, meraih suasana "masa pembelajaran" di kampus, reuni seni. Selain itu tujuan pameran ini adalah untuk mengukur kemampuan individu dengan membandingkan prestasi "rata-rata kelas". Siapa yang rangking pertama atau yang maju sebagai pioneeer? Siapa yang menjadi bian keributan atau memberi berita yan mencengangkan di kemudian hari? Atau siapa yan kemudian beralih menjadi profesi baru dalam bidang lain yang bekerja diluar sebagai seniman? Untuk menemukan jawaban itu semua yaitu dengan menakar sebuah keberhasilan pameran kelompok yang diselenggarakan itu.

Dalam kelompok pameran angkatan 2001 ini telah hadir perupa yang mencuat dalam peta seni rupa Indonesia, seperti Made Wiguna Valasara, Achmad Sonirin, Aidi Yupri, Mulyo, Gunarso, Wayan Upadana, Yayat Lesmana, Choirudin, Lia Mareza, Cipto Purnomo sampai Giring Prihatyasmono dan Doni paul. Mereka disatukan dalam konsep karya yang sama sekali berjauhan. Mereka membawa visi dan misi yang berbeda ke dalam ruang yang sama.Jadi catatan penting dalam pameran ini secara konseptual mereka bertarung satu sama lain. Hal ini berbeda sekali dengan konsep dan esensi berkelompok dalam arti yang sesungguhnya.

Oleh sabab itu pekerjaaan menggagas pameran semacam ini bakal memakan hati pada pengelolanya. Sungguh ini bukan upaya untuk merongrong kebersatuan yang sedang mengadakan pameran, tetapi peserta pameran ini adalah orang yang sedang terjebak dalam sebuah kolosium yang akan ditonton oleh publik dan diuji oleh keadaan. Sama telanjang, tetapi memiliki kelamin yang berbeda dan beberapa diantaranya harus mati didalamnya.

pameran lukisan

Arion Swiss-Belhotel Bandung menggelar pameran karya lima pelukis, yaitu Muhammad Bahlia, Basuki Bawono, Hassan Pratama, Judah Noor, dan Diddo Kusdinar. Pameran mengambil tema Menyongsong Tahun 2009 .

Assistant Public Relations Manager Arion Swiss-Belhotel Bandung, Gini Yulia di Bandung, Rabu (18/2), mengatakan, pameran akan diselenggarakan hingga 28 Februari 2009. Pameran mengambil tempat di area lobi, lantai satu agar memudahkan tamu dan pengunjung melihat lukisan.

Terdapat 27 lukisan yang dipamerkan. Harga setiap lukisan berkisar Rp 1-10 juta. Pada tahun 2009, acara tersebut merupakan pameran mereka yang ke-2 di Bandung. Di antara pelukis-pelukis tersebut, Judah Noor telah meninggal tahun 2004.

Oleh karena itu, tujuan pameran selain menggelar lukisan, juga membantu keluarga Judah Noor. Semua pelukis yang sering mengadakan pameran di dalam dan luar negeri itu mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selasa, 30 Maret 2010

Garuda Wisnu Kencana


Patung Garuda Wisnu Kencana berlokasi di Bukit Unggasan - Jimbaran, Bali. Patung ini merupakan karya pematung terkenal Bali, I Nyoman Nuarta. Monumen ini dikembangkan sebagai taman budaya dan menjadi ikon bagi pariwisata Bali dan Indonesia.

Patung tersebut berwujud Dewa Wisnu yang dalam agama Hindu adalah Dewa Pemelihara (Sthiti), mengendarai burung Garuda. Tokoh Garuda dapat dilihat di kisah Garuda & Kerajaannya yang berkisah mengenai rasa bakti dan pengorbanan burung Garuda untuk menyelamatkan ibunya dari perbudakan yang akhirnya dilindungi oleh Dewa Wisnu.

Patung ini diproyeksikan untuk mengikat tata ruang dengan jarak pandang sampai dengan 20 km sehingga dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot. Patung Garuda Wisnu Kencana ini merupakan simbol dari misi penyelamatan lingkungan dan dunia. Patung ini terbuat dari campuran tembaga dan baja seberat 4.000 ton, dengan tinggi 75 meter dan lebar 60 meter. Jika pembangunannya selesai, patung ini akan menjadi patung terbesar di dunia dan mengalahkan Patung Liberty.

Rabu, 24 Maret 2010

Pameran Lukisan

Sebelas pelukis revolusi akan menggelar pameran bersama bertema Terima Kasih kepada para Pejuang di Gedung Habibie Center (29 Mei-6 Juni).
Pameran Lukisan Terima Kasih Para Pejuang Sebelas pelukis revolusi akan menggelar pameran bersama bertema Terima Kasih kepada para Pejuang di Gedung Habibie Center (29 Mei-6 Juni). Direktur Komunikasi The Habibie Center, Andi Makmur Makka di Jakarta, mengungkapkan para pelukis di zaman perjuangan kemerdekaan tersebut merupakan pejuang seni budaya yang karya-karyanya mengobarkan semangat perjuangan rakyat melawan penjajahan. Sebelas pelukis tersebut adalah Amrus Natalsya, Djoko Pekik, Prijono, Lian Sahar, Handogo, Sutopo, Sri Warso Wahono, Arby Sama, Abas Alibasyah, Misbach Tamrin, dan Soenarto PR. Pameran ini akan diawali diskusi para tokoh lintas sejarah dalam tema Perjalanan Seni Lukis Indonesia menghadirkan pembicara Jusuf Ronodipuro, penyiar naskah Proklamasi, dan Amrus Natalsya, pelukis angkatan 60. Andi mengungkapkan perjalanan seni lukis Indonesia identik dengan perjalanan sejarah bangsa. Para pelukis di zaman revolusi telah membangkitkan semangat juang rakyat melawan penjajahan. Mereka itulah pada hakikatnya pejuang seni budaya yang melengkapi perjuangan bersenjata, ujarnya. Dalam perjalanan seni lukis Indonesia pada pertengahan tahun 1950an, para pelukis sempat terpecah belah akibat pertentangan ideologi mereka. Pada masa tersebut partai-partai mulai menginkubasi seniman-seniman pelukis. Di Yogyakarta, lanjutnya, komunitas seniman sempat terpolarisasi menjadi dua kubu, yakni Sanggar Bambu dan Sanggar Bumi Tarung. Keduanya mempertentangkan ideologi politik dalam berkesenian, kecuali untuk cita rasa seni. Kini kedua kubu itu tidak ada lagi dan kembali menjadi sahabat, pameran ini ditujukan untuk mengeratkan silaturahmi antara pelukis-pelukis yang awalnya ada dalam dua sanggar tersebut, sehingga tidak ada pengotakan dalam berkesenian, demikian Andi Makmur Makka seperti dilansir Antara. Lukisan, musik dan bonsai Musik harus dirawat seperti isteri atau sebaliknya, begitu pemikiran yang dituangkan perupa Agus Kemas dalam lukisannya yang berjudul Nada. Lukisan itu sedang dipamerkan di Galeri Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Lukisan Nada memperlihatkan seorang pria sedang memainkan celo sementara tubuh bagian depannya sedang dipeluk dan dicumbu oleh seorang wanita. Itu artinya musik harus dirawat seperti isteri (sendiri), atau sebaliknya. Jadi jangan sampai musik diperlakukan lebih ketimbang isteri atau sebaliknya, kata Rachmansyah, adik kandung Agus Kemas, yang menangani pameran bertajuk Music in Cubism Ia mengatakan, kakaknya itu tidak bisa datang karena sibuk dengan hobi barunya sebagai seniman tanaman bonsai dan kolektor ornamen-ornamen Madura, di tempat tinggalnya di sebuah pulau wilayah Madura. Menurut dia, Agus Kemas sejak 1995 mengasingkan diri di kepulauan antara Pulau Raas dan Pulau Sepudi, Kabupaten Sumenep. Ya cuma ngebonsai dan mengoleksi benda antik, katanya. Menjawab wartawan, ia mengungkapkan bahwa kakaknya itu mengangkat tema musik dalam lukisan karena jarang sekali ada pelukis yang menggarap seni tersebut. Kebanyakan kan tari, katanya. Seluruhnya, ada 28 lukisan Agus Kemas yang dipamerkan, semua memperlihatkan kehidupan seni musik Timur maupun Barat. Selain Nada, lukisan lainnya termasuk Musik Bali, \"Musik Kampung yang memperlihatkan dua remaja pria sedang berjalan sambil memainkan gitar dan ukulele di sebuah jalan desa, dan \"Musik Tandakan yang dikatakan Rachmansyah sebagai salah penamaan karena seharusnya Sendur. Kalau Tandakan itu Jawa Timur, Ponorogo ke sana. Kalau Madura disebut Sendur, katanya. Selain itu, ada yang dinamakan Selaras, Bermain Accordion, Expressi Biola & Keyboard, dan Musik Seberang yang memperlihatkan tiga wanita sedang memainkan alat musik petik dan tiup dari Palembang. Rachmansyah menjelaskan, ketiga wanita dalam lukisan \"Musik Seberang\" tampak seperti bangsa China karena memang itu lukisan wanita Palembang keturunan Vietnam. Sebenarnya Agus Kemas, yang bernama lengkap Ki Agus Kemas Achmad Agustianus, tidak lagi ingin berpameran sejak pensiun tahun 1995. Namun, desakan dari putranya, Erick Syafril Maulana, dan sejumlah teman termasuk Pak Hari, seorang kolektor benda antik, pelukis kelahiran Blitar, 17 Oktober 1945 itu kembali mau memperlihatkan karya-karyanya kepada publik. Sayang kalau karya-karya bapak dibiarkan hilang begitu saja, kata Erick. Sejak lulus Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya) tahun 1966, Agus Kemas telah banyak membuat lukisan dan sudah berpameran di Jakarta, Jogja, Surabaya dan sejumlah negara, antara lain Jepang (Tokyo, Fukouka, Kobe), Singapura, Turki, Italia, dan Australia. Rachmansyah mengungkapkan, pameran Music in Cubism, yang berlangsung mulai 24 Mei-2 Juni, adalah hasil imajinasi Agus Kemas pada kehidupan musik dan musisi dari berbagai budaya, dari klasik barat hingga musik tradisional daerah, dari musik kamar hingga musik jalanan. Kubisme diartikannya sebagai sinkronisasi ruang dan bidang untuk menemukan dimensi baru. Lukisan yang dipamerkan dibuat Agus Kemas pada 2005 dan 2006, bergaya tiga dimensi untuk menunjukkan gerakan ketika musisi sedang memainkan instrumen musik. Jadi ada bayangan, seolah-olah bergerak, kata Rachmansyah. Ia juga mengatakan, semula Agus Kemas sama seperti dirinya, pelukis ekspresionis. Belakangan, mungkin karena pengaruh hobi barunya membuat dan memelihara tanaman bonsai, lukisannya semua seperti bonsai. Coba anda perhatikan, semua liukan dan strukturnya seperti bonsai, katanya.