Sebelas pelukis revolusi akan menggelar pameran bersama bertema Terima Kasih kepada para Pejuang di Gedung Habibie Center (29 Mei-6 Juni).
Pameran Lukisan Terima Kasih Para Pejuang Sebelas pelukis revolusi akan menggelar pameran bersama bertema Terima Kasih kepada para Pejuang di Gedung Habibie Center (29 Mei-6 Juni). Direktur Komunikasi The Habibie Center, Andi Makmur Makka di Jakarta, mengungkapkan para pelukis di zaman perjuangan kemerdekaan tersebut merupakan pejuang seni budaya yang karya-karyanya mengobarkan semangat perjuangan rakyat melawan penjajahan. Sebelas pelukis tersebut adalah Amrus Natalsya, Djoko Pekik, Prijono, Lian Sahar, Handogo, Sutopo, Sri Warso Wahono, Arby Sama, Abas Alibasyah, Misbach Tamrin, dan Soenarto PR. Pameran ini akan diawali diskusi para tokoh lintas sejarah dalam tema Perjalanan Seni Lukis Indonesia menghadirkan pembicara Jusuf Ronodipuro, penyiar naskah Proklamasi, dan Amrus Natalsya, pelukis angkatan 60. Andi mengungkapkan perjalanan seni lukis Indonesia identik dengan perjalanan sejarah bangsa. Para pelukis di zaman revolusi telah membangkitkan semangat juang rakyat melawan penjajahan. Mereka itulah pada hakikatnya pejuang seni budaya yang melengkapi perjuangan bersenjata, ujarnya. Dalam perjalanan seni lukis Indonesia pada pertengahan tahun 1950an, para pelukis sempat terpecah belah akibat pertentangan ideologi mereka. Pada masa tersebut partai-partai mulai menginkubasi seniman-seniman pelukis. Di Yogyakarta, lanjutnya, komunitas seniman sempat terpolarisasi menjadi dua kubu, yakni Sanggar Bambu dan Sanggar Bumi Tarung. Keduanya mempertentangkan ideologi politik dalam berkesenian, kecuali untuk cita rasa seni. Kini kedua kubu itu tidak ada lagi dan kembali menjadi sahabat, pameran ini ditujukan untuk mengeratkan silaturahmi antara pelukis-pelukis yang awalnya ada dalam dua sanggar tersebut, sehingga tidak ada pengotakan dalam berkesenian, demikian Andi Makmur Makka seperti dilansir Antara. Lukisan, musik dan bonsai Musik harus dirawat seperti isteri atau sebaliknya, begitu pemikiran yang dituangkan perupa Agus Kemas dalam lukisannya yang berjudul Nada. Lukisan itu sedang dipamerkan di Galeri Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Lukisan Nada memperlihatkan seorang pria sedang memainkan celo sementara tubuh bagian depannya sedang dipeluk dan dicumbu oleh seorang wanita. Itu artinya musik harus dirawat seperti isteri (sendiri), atau sebaliknya. Jadi jangan sampai musik diperlakukan lebih ketimbang isteri atau sebaliknya, kata Rachmansyah, adik kandung Agus Kemas, yang menangani pameran bertajuk Music in Cubism Ia mengatakan, kakaknya itu tidak bisa datang karena sibuk dengan hobi barunya sebagai seniman tanaman bonsai dan kolektor ornamen-ornamen Madura, di tempat tinggalnya di sebuah pulau wilayah Madura. Menurut dia, Agus Kemas sejak 1995 mengasingkan diri di kepulauan antara Pulau Raas dan Pulau Sepudi, Kabupaten Sumenep. Ya cuma ngebonsai dan mengoleksi benda antik, katanya. Menjawab wartawan, ia mengungkapkan bahwa kakaknya itu mengangkat tema musik dalam lukisan karena jarang sekali ada pelukis yang menggarap seni tersebut. Kebanyakan kan tari, katanya. Seluruhnya, ada 28 lukisan Agus Kemas yang dipamerkan, semua memperlihatkan kehidupan seni musik Timur maupun Barat. Selain Nada, lukisan lainnya termasuk Musik Bali, \"Musik Kampung yang memperlihatkan dua remaja pria sedang berjalan sambil memainkan gitar dan ukulele di sebuah jalan desa, dan \"Musik Tandakan yang dikatakan Rachmansyah sebagai salah penamaan karena seharusnya Sendur. Kalau Tandakan itu Jawa Timur, Ponorogo ke sana. Kalau Madura disebut Sendur, katanya. Selain itu, ada yang dinamakan Selaras, Bermain Accordion, Expressi Biola & Keyboard, dan Musik Seberang yang memperlihatkan tiga wanita sedang memainkan alat musik petik dan tiup dari Palembang. Rachmansyah menjelaskan, ketiga wanita dalam lukisan \"Musik Seberang\" tampak seperti bangsa China karena memang itu lukisan wanita Palembang keturunan Vietnam. Sebenarnya Agus Kemas, yang bernama lengkap Ki Agus Kemas Achmad Agustianus, tidak lagi ingin berpameran sejak pensiun tahun 1995. Namun, desakan dari putranya, Erick Syafril Maulana, dan sejumlah teman termasuk Pak Hari, seorang kolektor benda antik, pelukis kelahiran Blitar, 17 Oktober 1945 itu kembali mau memperlihatkan karya-karyanya kepada publik. Sayang kalau karya-karya bapak dibiarkan hilang begitu saja, kata Erick. Sejak lulus Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya) tahun 1966, Agus Kemas telah banyak membuat lukisan dan sudah berpameran di Jakarta, Jogja, Surabaya dan sejumlah negara, antara lain Jepang (Tokyo, Fukouka, Kobe), Singapura, Turki, Italia, dan Australia. Rachmansyah mengungkapkan, pameran Music in Cubism, yang berlangsung mulai 24 Mei-2 Juni, adalah hasil imajinasi Agus Kemas pada kehidupan musik dan musisi dari berbagai budaya, dari klasik barat hingga musik tradisional daerah, dari musik kamar hingga musik jalanan. Kubisme diartikannya sebagai sinkronisasi ruang dan bidang untuk menemukan dimensi baru. Lukisan yang dipamerkan dibuat Agus Kemas pada 2005 dan 2006, bergaya tiga dimensi untuk menunjukkan gerakan ketika musisi sedang memainkan instrumen musik. Jadi ada bayangan, seolah-olah bergerak, kata Rachmansyah. Ia juga mengatakan, semula Agus Kemas sama seperti dirinya, pelukis ekspresionis. Belakangan, mungkin karena pengaruh hobi barunya membuat dan memelihara tanaman bonsai, lukisannya semua seperti bonsai. Coba anda perhatikan, semua liukan dan strukturnya seperti bonsai, katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar